etika bisnis islam dan prinsip-prinsip bisnis dalam islam



1.     Definisi Etika Bisnis Islam
            Etika bisnis di definisikan sebagai seperangkat nilai tentang baik, buruk, benar dan salah dalam dunia bisnis berdasarkan pada prinsip-prinsip moralitas. Dalam arti lain etika bisnis berarti seperangkat prinsip dan norma dimana para pelaku bisnis harus komit padanya dalam bertransaksi, berperilaku dan berelasi guna mencapai ‘daratan’ atau tujuan-tujuan bisnisnya dengan selamat.
           Dan ini yang menjadi kriteria penghargaan dan peringatan/tindakan (a set of principles and norms to which business people should adhere in their business dealings, conduct, and realtions in order to reach the shores of safety. It is also a criterion for reward or punishment).
           Dengan demikian, maka belajar etika bisnis berarti ‘learning what is right or wrong’ yang dapat membekali seseorang untuk berbuat the right thing yang didasari oleh ilmu, kesadaran, dan kondisi yang berbasis moralitas. Namun terkadang etika bisnis dapat berarti juga etika manajerial (management ethics)atau etika organisasional yang disepakati oleh sebuah perusahaan. Selain itu etika bisnis juga dapat berarti pemikiran atau refleksi tentang moralitas dalam ekonomi dan bisnis, yaitu refleksi tentang perbuatan baik, buruk, terpuji, tercela, benar, salah, wajar, tidak wajar, pantas, tidak pantas dari perilaku seseorang dalam berbisnis atau bekerja. [1]
            Kata bisnis di dalam Al-Qur’an yaitu al-tijarah dan dalam bahasa arab tijaraha, yang bermakna berdagang atau berniaga. Jadi, Etika Bisnis adalah standar-standar nilai yang menjadi pedoman atau acuan manajer dan segenap karyawan dalam pengambilan keputusan dan mengoperasikan bisnis yang etik.[2]
           Secara sederhana mempelajari etika dalam bisnis berarti mempelajari tentang mana yang baik/buruk, benar/salah dalam dunia bisnis berdasarkan kepada prinsip-prinsip moralitas. Kajian etika bisnis terkadang merujuk kepada management ethics atau organizational ethics. Etika bisnis dapat berarti pemikiran atau refleksi tentang moralitas dalam ekonomi dan bisnis. Moralitas disini sebagaimana disinggung diatas berarti: aspek baik/buruk, terpuji/tercela, benar/salah, wajar/tidak wajar, pantas/tidak pantas dari perilaku manusia. Kemudian dalam kajian etika bisnis islam susunan adjektive diatas ditambah dengan halal-haram (degrees of lawful and lawful) sebagaimana yang disinyalir oleh Husein Sahatah, dimana beliau memaparkan sejumlah perilaku etis bisnis (akhlaq al islamiyah) yang dibungkus dengan dhawabith syariyah (batasan syariah) atau general guidline menurut Rafik Issa Beekun.[3]

2. Pandangan Islam Tentang Etika Bisnis
            Menurut sumber-sumber literaur mengatakan bahwa, etika bisnis di dasari oleh ajaran-ajaran agama. Dalam ajaran Judaism misalnya punya literatur yang banyak dan kode hukum tentang akumulasi dan penggunaan kekayaan. Dasar literatur dan kode hukum tersebut adalah taurat yang dikembangkan dalam Mishnah dan Talmud. Begitu juga dengan ajaran agama Kristen.
           Adapun agama Islam banyak sumber literatur yang tersedia dan kode hukum yang mengatur masalah harta dan kekayaan yang merujuk pada kitab Al-Qur’an dan diterjemahkan dalam bentuk hadist-hadist Rasulullah SAW. Tetapi inisiatif yang dilakukan oleh tiga agama Samawi (Islam, Kristen, dan Yahudi) yang di prakarsai HRH. Price Philip (the Duke of Edinburgh) dan putra mahkota Hassan bin Talal (Jordan) tahun 1984 sepakat meletakkan prinsip-prinsip etika dalam bisnis. Ada tiga isu etika dalam bisnis yang diklasifikasi waktu itu yaitu, moralitas dalam sistem ekonomi, moralitas dalam kebijakan organisasi yang terlibat dalam bisnis, serta moralitas perilaku individual para karyawan saat bekerja.
           Dalam deklarasi yang dilakukan ada perbedaan-perbedaan yang menonjol dalam perspektif ajaran agama masing-masing, namun tiga hal diatas menjadi titik temu yang disepakati oleh ketiganya. Semua sepakat bahwa kerangka hukum berbisnis berbeda dari satu negara dengan lainya yang harus diakui oleh semua dimana hukum nasional berlaku bagi sebuah perusahaan yang terdaftar dinegara tersebut dengan tidak memandang kewarganeraan pemilik atau manajernya.
          Deklarasi yang dikeluarkan oleh tiga agama tersebut menghasilkan kesepakatan untuk menjunjung empat prinsip yang krusial, yaitu: keadilan (justics) saling menghormati (mutual respect), kepercayaan (trusteeship), dan kejujuran (honesfy).[4]
           Adapun pemikiran politik Islam dalam konsep etika bisnis sangat erat hubunganya dengan universalitas ajaran islam itu sendiri, dimana konsep akidah yang berawal dari konsep ‘syahadatain’ yang mengakui keesaan Allah sebagai Sang Pencipta, Tuhan segala sesuatu dan pengaturnya serta pengakuan terhadap Rasulullah SAW. Sebagai utusan-Nya adalah pihak yang harus diteladani dalam seluruh aspek kehidupanya. Artinya, bahwa konsep akidah yang demikian harus diejawantahkan dalam potret nyata ibadah kepada Allah sebagai konsep interaksi vertikal dan akhlak (etika) dalam konsep interaksi horizontal. Konsep akidah, ibadah, dan akhlak yang demikian mengatur keseluruhan hidup seorang muslim selama 24 jam, tanpa membedakan antara realitas hidup pribadi ataupun publik, termasuk dunia bisnis.
3. Perilaku Bisnis Yang Sah dan Yang Terlarang
  A. Perilaku Bisnis Yang Sah
1. Kebebasan Dalam Usaha Ekonomi
- Pengakuan dan penghormatan pada kekayaan pribadi
- Legalitas dagang
- Persetujuan mutual
2. Keadilan/Persamaan
- Imperatif (Bentuk Perintah)
- Perlindungan
3. Tatakrama : Diperintahkan dan dipuji
- Murah hati
- Motivasi untuk berbakti
- Kesadaran akan Allah dan prioritas utama-Nya
4. Bentuk-bentuk Transaksi
- Transaksi secara umum
- Syarikah (Partnership)

B. Perilaku Bisnis Yang Terlarang
1. Riba
- Penjelasan tentang riba
- Larangan riba
- Kejahatan riba
2. Penipuan
- Tathfif (curang dalam timbangan)
- Tidak jujur
- Kebohongan dan pengingkaran janji
- Serbaneka penipuan transaksi
3. Beberapa Bisnis Lain Yang Tidak Sah
- Mengkonsumsi hak milik orang lain dengan cara yang batil
- Tidak menghargai prestasi
- Partnership yang invalid
- Pelanggaran dalam pembayaran gaji dan hutang
- Penimbunan
- Penentuan harga yang Fix
- Proteksionisme
- Hima dan monopoli
- Melakukan hal yang melambungkan harga
- Tindakan yang menimbulkan kerusakan
- Pemaksaan[5]
4. Prinsip Etika Bisnis Islam
Sejumlah aksioma dasar (hal yang sudah menjadi umum dan jelas kebenaranya) sudah dirumuskan dan dikembangkan oleh para sarjana muslim. Aksioma-aksioma ini merupakan turunan dari hasil penerjemahan kontemporer akan konsep-konsep fundamental dari nilai moral Islami. Dengan begitu, aspek etika dalam bahasan ini sudah di insert dan di internalisasi dalam pegembangan sistem etika bisnis. Rumusan aksioma ini diharapkan menjadi rujukan bagi moral awareness parapebisnis muslim untuk menentukan prinsip-prinsip yang dianut dalam menjalankan bisnisnya.
a) Unity (Persatuan)
          Alam semesta, termasuk manusia, adalah milik Allah, yang memiliki kemahakuasaan (kedaulatan) sempurna atas makhluk-makhluk-Nya. Konsep tauhid (dimensi vertikal) berarti Allah sebagai Tuhan Yang Maha Esa menetapkan batas-batas tertentu atas perilaku manusia sebagai khalifah, untuk memberikan manfaat pada individu tanpa mengorbankan hak-hak individu lainya.
           Masudul Alam Choudhury dalam pemaparanya mengenai endogeneity of ethics in islamic socio-scientific order menyatakan bahwa Ibnu Arabi dan para filsuf atomism dari arsharites (Qadri: 1988) menyakini bahwa mencermati keberaturan segala sesuatu di alam semesta ini berarti dapat menembus esensi dari keesaan Tuhan (The Essence Of The Oneness Of Gold).
          Hal ini berarti pranata sosial, politik, agama, moral, dan hukum yang mengikat masyarakat berikut perangkat institusionalnya disusun sedemikian rupa dalam sebuah unit bersistem terpadu untuk mengarahkan setiap individu manusia, sehingga mereka dapat secara baik melaksanakan, mengontrol, serta mengawasi aturan-aturan tersebut. Berlakunya aturan-aturan ini selanjutnya akan membentuk ethical organizational climate tersendiri pada ekosistem individu dalam melakukan aktivitas ekonomi. Aturan-aturan itu sendiri bersumber pada kerangka konseptual masyarakat dalam hubungan vertikal dengan kekuatan tertinggi (Allah SWT.), dan hubungan horizontal dengan kehidupan srsama manusia dan alam semesta secara keseluruhan untuk menuju tujuan akhir yang sama.[6]
b) Equilibrium (Keseimbangan)
           Dalam beraktivitas di dunia kerja dan bisnis, Islam mengharuskan untuk berbuat adil, tak terkecuali pada pihak yang tidak disukai. Pengertian adil dalam Islam diarahkan agar hak orang lain, hak lingkungan sosial, hak alam semesta dan hak Allah dan Rasu;nya berlaku sebagai stakeholder dari perilaku adil seseorang. Semua hak-hak tersebut harus ditempatkan sebagaimana mestinya (sesuai aturan syariah). Tidak mengakomodir salah satu hak datas, dapat menempatkan seseorang tersebut pada kezaliman. Karenanya orang yang adil akan lebih dekat kepada ketakwaan.
           Berlaku adil akan dekat dengan takwa, karena itu dalam perniagaan (tijarah), Islam melarang untuk menipu walaupun hanya ‘sekadar’ membawa sesuatu pada kondisi yang menimbulkan keraguan sekalipun. Kondisi ini dapat terjadi seperti adanya gangguan pada mekanisme pasar atau karena adanya informasi penting mengenai transaksi yang tidak diketahui oleh salah satu pihak (asyimetric information). Gangguan pada mekanisme pasar dapat berupa gangguan dalam penawaran dan gangguan dalam permintaan.
           Islam mengharuskan penganutnya untuk berlaku adil dan berbuat kebajikan. Dan bahkan berlaku adil harus didahulukan dari berbuat kebajikan. Dalam perniagaan, persyaratan adil yang paling mendasar adalah dalam menentukan mutu (kualitas) dan ukuran (kuantitas) pada setiap takaran maupun timbangan. Allah berfirman: Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. (al-Anaam:152)[7]
c) Free Will (Kehendak Bebas)
            Konsep Islam memahami bahwa institusi ekonomi seperti pasar dapat berperan efektif dalam kehidupan ekonomi. Hal ini dapat berlaku bila prinsip persaingan bebas dapat berlaku secara efektif, dimana pasar tidak mengharapkan adanya intervensi dari pihak manapun, tak terkecuali negara dengan otoritas penentuan harga atau private sektor dengan kegiatan monopolistik.
            Manusia memiliki kecenderungan untuk berkompetisi dalam segala hal, tak terkecuali kebebasan dalam melakukan kontrak dipasar. Oleh sebab itu, pasar eharusnya menjadi cerminan dari berlakunya dari hukum penawaran dan permintaan yang direpresentasikan oleh harga, padar tidak terdistorsi oleh tangan-tangan yang sengaja mempermainkanya. Bagi Smith bila setiap individu diperbolehkan mengejar kepentinganya sendiri tanpa adanya campur tangan pihakk pemerintah, maka ia seakan-akan dibimbing oleh tangan yang tak tampak (the invisible hand), untuk mencapai yang terbaik pada masyarakat.
            Kebebadan ekonomi tersebut juga diilhami oleh pendapat Legendre yang di tanya oleh Menteri Keuangan Perancis pada masa pemerintahan Louis XIV pada akhir abad ke-17, yakni Jean Bapiste Colbert. Bagaimana kiranya pemerintah dapat membantu dunia usaha, Legendre menjawab: “Laissez nous faire” (jangan mengganggu kita, {leave us alone}), kita ini dikenal kemudian sebagai laissez faire. Dewasa ini prinsip laissez faire diartikan sebagai tiadanya intervensi pemerintah.[8]
d) Responsibility
           Aksioma tanggung jawab individu begitu mendasar dalam ajaran-ajaran Islam. Terutama jika dikaitkan dengan kebebasan ekonomi. Penerimaan pada prinsip tanggung jawab individu ini berarti setiap orang akan diadili secara personal dihari Kiamat kelak. Tidak ada satu cara pun bagi seseorang untuk melenyapkan perbuatan-perbuatan jahatnya kecuali dengan memohon ampunan Allah dan melakukan perbuatan-perbuatan yang baik (amal saleh). Islam sama sekali tidak mengenal konsep dosa warisan, (dan karena itu) tidak ada seorang pun bertanggung jawab atas kesalahan-kesalahan orang lain.
           Setiap individu mempunyai hubungan langsung dengan Allah. Tidak ada perantara sama sekali. Nabi SAW. Sendii hanyalah seorang utusan (rasul) atau kendaraan untuk melewatkan petunjuk Allah yang diwahyukan untuk kepentingan umat manusia. Ampunan harus diminta secara langsung dari Allah. Tidak ada seorang pun memiliki otoritas untuk memberikan keputusan atas nama-Nya. Setiap individu mempunyai hak penuh untuk berkonsultasi dengan sumber-sumber Islam (Al-Qur’an dan Sunnah) untuk kepentinganya sendiri. Setiap orang dapat menggunakan hak ini, karena hal ini merupakan landasan untuk melaksanakan tanggung jawabnya kepada Allah.[9]
e) Benevolence
                           Ihsan (benevolence), artinya melaksanakan perbuatan baik yang dapat memberikan kemanfaatan kepada orang lain, tanpa adanya kewajiban tertentu yang mengharuskan perbuatan tersebut (Beekun, 1997) atau dengan kata lain beribadah dan berbuat baik seakan-akan melihat Allah, jika tidak mampu, maka yakinlah Allah melihat. Siddiqi (1979) melihat bahwa keihsanan lebih penting kehadiranya ketimbang keadilan dalam kehidupan sosial. Karena menurutnya keadilan hanya merupakan “the corner stone of society”, sedangkan Ihsan adalah “beauty, and perfection” sistem sosial. Jika keadilan dapat menyelamatkan lingkungan sosial dari tindakan-tindakan yang tidak diinginkan dan kegetiran hidup, ke-ihsan-an justru membuat kehidupan sosial ini menjadi manis dan indah.
                           Problematika yang terjadi sesama muslim dalam aktivitas perekonomian saat ini, selalu saja disebabkan oleh karena kita kerap meninggalkan ajaran islam, sehingga lantas saja memosisikan kaum muslimin dalam keadaan tertuduh bahwa mereka tidak mampu menjalankan proyek dan mengelola bisnis dan transaksi. Kemudian pada saat yang sama, kondisi seperti ini justru memberikan kesempatan kepada musuh-musuh Islam untuk menuduh Islam dengan pernyataan bahwa syariat Islam tidak mampu untuk menjalankan dan mengelola proyek dalam bidang garapan ekonomi dan keuangan.[10]



[1] Faisal Badroen, Etika Bisnis Dalam Islam, KENCANA, Jakarta, 2006, hlm. 16
[2] Budi Untung, Hukum dan Etika Bisnis, ANDI, Yogyakarta, 2012, hlm. 61
[3]Faisal Badroen, Etika Bisnis Dalam Islam, KENCANA, Jakarta, 2006, hlm. 71
[4][4] Ibid, hlm. 20
[5] Mustaq Ahmad, Etika Bisnis Dalam Islam, PUSTAKA AL-KAUTSAR Jln. Cipinang Muara Raya No. 63 Jakarta Timur – 13420, 2001, hlm. 151
[6]Faisal Badroen, Etika Bisnis Dalam Islam, KENCANA, Jakarta, 2006, hlm. 90
[7]Ibid, hlm. 92
[8] ibid, hlm. 95
[9][9] Ibid, hlm. 101
[10][10] Ibid, hlm. 104

Comments

Popular Posts