kontrak atau perjanjian



A.    PENGERTIAN KONTRAK
Kontrak atau contracts (dalam bahasa Inggris) dan overeencomst (dalam bahsa Belanda) dalam pengertian yang lebih luas sering dinamakan juga dengan istilah perjanjian. Kontrak adalah peristiwa dimana dua orang atau lebih saling berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan tertentu, biasanya secara tertulis. Para pihak yang bersepakat mengenai hal-hal yang diperjanjikan, berkewajiban untuk mentaati dan melaksanakannya sehingga perjanjian tersebut menimbulka hubungan hukum yang disebut perikatan (verbintenis). Dengan demikian kontrak dapat menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak yang membuat kontrak tersebut, karena itu kontrak yang mereka buat adalah sumber hokum formal, asal kontrak tersebut adalah kontrak yang sah.[1]
Dr. H. Hendi Suhendi dalam bukunya, menurut bahasa ‘Aqad mempunyai beberapa arti, antara lain:[2]
Mengikat, yaitu “Mengumpulkan dua ujung tali dan mengikat salah satunya dengan yang lain sehingga bersambung, kemudian keduanya menjadi sebagai sepotong benda”
Sambungan, yaitu “Sambungan yang memegang kedua ujung itu dan mengikatnya”
Janji, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an
Q.S Ali ‘Imran ayat 76 “Sebenarnya barang siapa menepati janji dan bertakwa, maka sungguh Allah mencintai orang-orang yang bertakwa”[3]
Q.S Al Ma’idah ayat 1 “Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah janji-janji”[4]





B.   SYARAT SAHNYA KONTRAK
Menurut pasal 1320 KUH perdata kontrak adalah sah bila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. syarat subjektif, syaratnya ini apabila dilanggar maka kontrak dapat dibatalkan, Meliputi:
1)      kecakapan untuk membuat kontrak(dewasa dan tidak sakit ingatan)
2)      kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya
b. syarat objektif, syarat ini apabila dilanggar maka kontraknya batal demi hukum, Meliputi:
1)      suatu hal (objek) tertentu
2)      sesuatu sebab yang halal(kausa)

C.    PIHAK DALAM KONTRAK
Pada dasarnya setiap orang dapat melakukan kontrak dengan siapa saja yang dikehendaki sepanjang orang tersebut tidak dilarang oleh Undang-Undang untuk melakukan kontrak. Pihak pihak dalam kontrak ini dapat berupa orang-perorangan atau badan usaha yang bukan badan hokum atau badan usaha yang merupakan badan hokum. Hanya saja kalau yang melakukan kontrak adalah bukan orang perorangan maka siapa yang berhak mewakilinya ditentukan dalam peraturan perundang-undangan maupun dalam anggaran dasar dari badan usaha tersebut.
Untuk memperjelas, akan diberikan contoh sebagai berikut:
1.      Dalam hal seseorang melakukan kontrak dengan bertindak untuk dan atas namanya sendiri adalah jika orang itu berkepentingan sendiri dalam membuat kontrak dan ia sendiri cakap menurut hokum untuk melakukan kontrak tersebut.
2.      Seseorang bertindak atas nama sendiri namun untuk kepentingan orang lain jika ia merupakan seorang wali yang bertindak atau melakukan kontrak untuk kepentingan anak yang ada dibawah perwaliannya.
3.      Seseorang yang bertindak untuk dan atas nama orang lain kalau ia seorang pemegang kuasa dari orang lain untuk melakukan kontrak.[5]



D.    ASAS-ASAS HUKUM KONTRAK
Dalam hokum kontrak dikenal banyak asas, empat diantaranya yang banyak dibahas adalah: [6]
1)      Asas  Konsensualisme
Asas konsensualisme adalah bahwa lahirnya kontrak ialah pada saat terjadinya kesepakatan. Dengan demikian apabila tercapai kesepakatan antara para pihak, maka lahirlah kontrak, walaupun kontrak itu belum dilaksanakan pada saat itu. Hal ini berarti bahwa dengan tercapainya kesepakatan oleh para pihak melahirkan hak dan kewajiban bagi mereka atau biasa juga disebut bahwa kontrak tersebut sudah bersifat obligatoir, yakni melahirkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi kontrak tersebut.
2)      Asas Kebebasan Berkontrak
Kebebasan berkontrak memberikan jaminan kebebasan kepada seseorang dalam beberapa hal yang berkaitan dengan perjanjian, diantaranya:
a.                Bebas menentukan apakah ia akan melakukan perjanjian atau tidak
b.      Bebas menentukan dengan siapa ia akan melakukan perjanjian
c.                Bebas menentukan isi atau klausula perjanjian
d.      Bebas menentukan bentuk perjanjian
e.                Bebas menentukan hukum yang digunakan; dan
f.                Kebebasan-kebebasan lainnya
Kebebasan berkontrak ini tetap saja ada batasnya yakni tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum maupun kesusilaan. Larangan ini berlaku umum dalam hukum kontrak.
3)      Asas Mengikatnya Kontrak (Pacta Sunt Servanda)
Setiap orang yang membuat kontrak, maka dia terikat untuk memenuhi kontrak tersebut, karena kontrak tersebut mengandung janji-janji yang harus dipenuhi, dan janji tersebut mengikat para pihak sebagaimana mengikatnya Undang-Undang. Hal ini dapat dilihat pada pasal 1338 ayat (1) yang menentukan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya.
4)      Asas Iktikad Baik
Ketentuan tentang iktikad baik ini diatur dalam pasal 1338 ayat (3) bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik. Begitu pentingnya iktikad baik tersebut, sehingga dalam perundingan-perundingan atau perjanjian antara para pihak, kedua belah pihak akan berhadapan dalam suatu hubungan hukum khusus yang dikuasai oleh iktikad baik dan hubungan khusus ini membawa akibat lebih lanjut bahwa kedua belah pihak itu harus bertindak dengan mengingat kepentingan-kepentingan yang wajar dari pihak lain.[7]
Walaupun iktikad baik para pihak dalam perjanjian sangat ditekankan pada tahap pra perjanjian, akan tetapi secara umum iktikad baik harus selalu ada pada setiap tahap perjanjian, sehingga kepentingan pihak yang satu selalu dapat diperhatikan oleh pihak lainnya.[8]

E.     GANTI RUGI KARENA MELANGGAR PERJANJIAN
Bilamana seseorang telah melanggar perjanjian betapapun ringannya pelanggaran itu, pihak lainnya dapat menuntut ganti rugi. Ini adalah upaya hukum yang utama bagi pelanggaran perjanjian. Asas asas untuk menilai kerugian itu adalah sebagai berikut:[9]
a)      Ganti Rugi Sebagai Akibat Pelanggaran
Asas pokok adalah bahwa penggugat seharusnya diberi ganti rugi, tetapi tidak lebih daripada ganti rugi untuk setiap kerugian yang ia derita sebagai akibat dari pelanggaran yang dilakukan oleh tergugat. Kerugian yang diakibatkan oleh pelanggaran itu dapat berupa kerugian uang, kerugian barang, kerugian pribadi.
b)      Ganti Rugi Bersifat Terbatas
Namun demikian penggugat tidak dapat diberi ganti rugi untuk semua akibat yang mungkin secara logis timbul karena pelanggaran yang dilakukan tergugat, jika tidak demikian maka tidak ada akhirnya tanggung jawab itu. Karena itu suatu kerugian itu, sifatnya terbatas sekali.
c)      Kewajiban Memperkecil Kerugian
Pihak yang dirugikan mempunyai kewajiban untuk mengurangi atau memperkecil kerugiannya, yaitu mengambil langkah-langkah yang patut atau perlu untuk mengurangi kerugian itu.
d)     Menilai Lebih Dulu Kerugian yang Mungkin Terjadi
Dalam beberapa hal, pihak-pihak yang meramalkan kemungkinan terjadi pelanggaran dalam perjanjian semula, berusaha untuk menilai lebih dulu kerugian-kerugian yang dapat dibayar karena pelanggaran itu. Bagi kerugian-kerugian yang dihapuskan (liquidated) ketentuan semacam ini akan berlaku secara sempurna jika ada usaha sungguh-sungguh untuk memperkirakan lebih dulu kerugian semacam itu. Jika itu bukan perkiraan lebih dulu yang sungguh-sungguh, melainkan suatu usaha untuk menetapkan kerugian yang bersifat hukuman, apabila sama sekali tidak akan dibebankan sebaliknya, maka klausula kerugian yang dihapuskan itu akan menjadi batal sebagai suatu hukuman.

F.    WANPRESTASI
Menurut pasal 1234 KUH Perdata yang dimaksud dengan prestasi adalah seseorang yang menyerahkan sesuatu, melakukan sesuatu dan tidah melakukan sesuatu,sebaliknya dianggap wanprestasi bila seseorang:
a.       Tidak melakukan isi perjanjian
b.      Melakukan tetapi tidak sesuai dengan perjanjian
c.       Melakukan dengan terlambat
d.      Melakukan yang dilarang dalam perjanjian

G.    MACAM-MACAM KONTRAK/PERJANJIAN
Berikut ini beberapa contoh kontrak khusus dan penting yang banyak terjadi dalam praktik bisnis pada umumnya:[10]
a)      Perjanjian Kredit
b)      Perjanjian Leasing
c)      Perjanjian Keagenan dan Distributor
d)     Perjanjian Franchising dan Lisensi
e)      Kontrak Jual-beli
f)       Kontrak Sewa Menyewa
g)      Pemberian atau Hibah (schenking)
h)      Perseroan (maatschap)
i)        Kontrak Pinjam-meminjam
j)        Kontrak Penanggungan Utang (borgtocht)
k)      Kontrak Kerja
l)        Kontrak Pembiayaan

Disini akan kami terangkan sedikit mengenai salah satu jenis kontrak, yakni perjanjian Leasing.

PERJANJIAN LEASING (KREDIT BARANG)[11]
a.      Pengertian
Leasing berasal dari kata lease (dalam bahasa Inggris) adalah perjanjian yang pembayarannya dilakukan secara angsuran dan hak milik atas barang itu beralih kepada pembeli setelah angsurannya lunas dibayar (Keputusan Menteri Perdagangan No. 34/KP/II/1980)
b.      Ciri-Ciri
·         Hak milik atas barang baru beralih setelah lunas pembayaran, berarti selama kurun waktu kontrak  berjalan hak milik masih menjadi hak lessor.
·         Sewaktu-waktu lessor bisa membatalkan kontrak bila lessee lalai
·         Leasing bukan perjanjian kredit  murni, namun cenderung perjanjian kredit dengan jaminan terselubung
·         Ada registrasi kredit dengan tujuan untuk melahirkan sifat kebendaan dari perjanjian jaminan.
·         Ada hubungan antara lamanya kontrak dengan jangka waktu pemakaian objek leasing
·         Tenggang waktu kontrak berlaku tetap
·         Tenggang waktu tersebut sesuai dengan maksud para pihak seluruhnya atau hampir sama dengan lamanya pemakaian barang yang merupakan objek perjanjian dilihat dari segi ekonomi menurut perkiraan para pihak.

H.    BERAKHIRNYA ATAU HAPUSNYA KONTRAK
Berdasarkan pasal 1338 hapusnya perikatan karena:[12]
1.      Pembayaran
2.      Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan
3.      Pembaruan utang
4.      Perjumpaan utang atau kompensasi
5.      Percampuran utang
6.      Pembebasan utang
7.      Musnahnya barang yang terutang
8.      Kebatalan atau pembatalan
9.      Berlakunya syarat batal
10.  Kedaluwarsa


[1] Abdul R. Saliman, SH. MM., Hermansyah, SH. M.Hum., Ahmad Jalis, SH. MA., Hukum Bisnis untuk Perusahaan, Jakarta: Prenada Media, 2005, hlm. 41
[2] Dr. H. Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005, hlm. 44
[3] Al-Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya: CV. Pustaka Agung Harapan, 2006, hlm. 74
[4] Ibid., hlm. 141
[5] Prof. Dr. Ahmadi Miru, S.H., M.H., Hukum Kontrak Bernuansa Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013, hlm. 21-22
[6] Ibid., hlm. 8-11
[7] J.M. Van Dunne dan Van Der Burght,Gr, Perbuatan Melawan Hukum, Dewan kerjasama ilmu hokum Belanda dengan Indonesia, Proyek Hukum Perdata, Ujungpandang, 1998, hlm. 15
[8] Prof. Dr. Ahmadi Miru, S.H., M.H., op.cit., hlm. 13
[9] Abdulkadir Muhammad, SH., Hukum Perjanjian, Bandung: Penerbit Alumni, 1986, hlm. 161-164
[10] Abdul R. Saliman, SH. MM., Hermansyah, SH. M.Hum., Ahmad Jalis, SH. MA., op.cit., hlm. 63
[11] Ibid., hlm. 55
[12] Ibid., hlm. 63

Comments

Popular Posts