Nilai dan moral dalam bidang konsumsi
A.
Dasar
Hukum Perilaku Konsumen
- Sumber yang Berasal dari al-Qur’an
وَكُلُوا
وَاشْرَبُوا وَلاَتُسْرِفُوا إِنَّهُ لاَيُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
Artinya : Makan dan minumlah,
namun janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah itu tidak menyukai
orang-orang yang berlebih-lebihan.
2. Sumber yang berasal dari Sunnah
Rasul yang artinya :
Abu Said Al-Chodry r.a berkata : Ketika
kami dalam bepergian berasama Nabi SAW, mendadak datang seseorang berkendaraan,
sambil menoleh ke kanan-ke kiri seolah-olah mengharapkan bantuan makanan, maka
bersabda Nabi SAW : “Siapa yang mempunyai kelebihan kendaraan harus dibantukan
pada yang tidak memmpunyai kendaraan. Dan siapa yang mempunyai kelebihan bekal
harus dibantukan pada orang yang tidak berbekal.” kemudian Rasulullah menyebut
berbagai macam jenis kekayaan hingga kita merasa seseorang tidak berhak memiliki
sesuatu yang lebih dari kebutuhan hajatnya. (H.R. Muslim).
3. Ijtihad Para Ahli Fiqh
Ijitihad
berarti meneruskan setiap usaha untuk menentukan sedikit banyaknya kemungkinan
suatu persoalan syari’at. Mannan menyatakan bahwa sumber hukum ekonomi islam
(termasuk di dalamnya terdapat dasar hukum tentang prilaku konsumen) yaitu;
al-Qur’an, as-Sunnah, ijma’, serta qiyas dan ijtihad.[1]
Menurut
Mannan, yang ditulis oleh Muhammad dalam bukunya ”Ekonomi Mikro Islam” (2005:
165); konsumsi adalah permintaan sedangkan produksi adalah
penyediaan/penawaran. Kebutuhan konsumen, yang kini dan yang telah
diperhitungkan sebelumya, menrupakan insentif pokok bagi kegiatan-kegiatan
ekonominya sendiri. Mereka mungkin tidak hanya menyerap pendapatannya, tetapi
juga memberi insentif untuk meningkatkannya.
Hal
ini berarti bahwa pembicaraan mengenai konsumsi adalah penting. dan hanya para
ahli ekonomi yang mempertunjukkan kemampuannya untuk memahami dan
menjelaskan prinsip produksi maupun konsumsi, mereka dapat dianggap kompeten
untuk mengembangkan hukum-hukum nilai dan distribusi atau hampir setiap cabang
lain dari subyek tersebut.
Menurut
Muhammad perbedaan antara ilmu ekonomi modren dan ekonomi Islam dalam hal
konsumsi terletak pada cara pendekatannya dalam memenuhi kebutuhan seseorang.
Islam tidak mengakui kegemaran materialistis semata-mata dari pola konsumsi
modren.[2]
Lebih
lanjut Mannan mengatakan semakin tinggi kita menaiki jenjang peradaban,
semakin kita terkalahkan oleh kebutuhan fisiologik karena faktor-faktor
psikologis. Cita rasa seni, keangkuhan, dorongan-dorongan untuk pamer semua
faktor ini memainkan peran yang semakin dominan dalam menentukan bentuk
lahiriah konkret dari kebutuhan-kebutuhan fisiologik kita. Dalam suatu
masyarakat primitif, konsomsi sangat sederhana, karena kebutuhannya sangat
sederhana. Tetapi peradaban modren telah menghancurkan kesederhanaan manis akan
kebutuhan-kabutuhan ini.
B.
Prinsip
Konsumsi Dalam Islam
Menurut
Islam, anugerah-anugerah Allah adalah milik semua manusia. Suasana yang
menyebabkan sebagian diantara anugerah-anugerah itu berada ditangan orang-orang
tertentu tidak berarti bahwa mereka dapat memanfaatkan anugerah-anugerah itu
untuk mereka sendiri. Orang lain masih berhak atas anugerah-anugerah tersebut
walaupun mereka tidak memperolehnya. Dalam Al-Qur’an Allah SWT mengutuk dan
membatalkan argumen yang dikemukakan oleh orang kaya yang kikir karena
ketidaksediaan mereka memberikan bagian atau miliknya ini.[3]
Selain
itu, perbuatan untuk memanfaatkan atau mengkonsumsi barang-barang yang baik itu
sendiri dianggap sebagai kebaikan dalam Islam. Sebab kenikmatan yang dicipta
Allah untuk manusia adalah ketaatan kepada-Nya yang berfirman kepada nenek
moyang manusia, yaitu Adam dan Hawa, sebagaimana tercantum dalam Al-Qur’an
يَاأَيُّهاَ
النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي اْلأَرْضِ حَلاَلاً طَيِّبًا وَلاَ تَتَّبِعُوا
خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
Artinya : Hai sekalian manusia,
makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi dan janganlah kamu
mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh
yang nyata bagimu.
Etika
ilmu ekonomi Islam berusaha untuk mengurangi kebutuhan material yang luar biasa
sekarang ini, untuk mngurangi energi manusia dalam mengejar cita-cita
spiritualnya. Perkembangan bathiniah yang bukan perluasan lahiriah, telah
dijadikan cita-cita tertinggi manusia dalam hidup. Tetapi semangat modren dunia
barat, sekalipun tidak merendahkan nilai kebutuhan akan kesempurnaan batin,
namun rupanya telah mengalihkan tekanan kearah perbaikan kondisi-kondisi
kehidupan material. Dalam ekonomi Islam konsumsi dikendalikan oleh lima prinsip
dasar.[4]
- Prinsip Keadilan
Syarat
ini mengandung arti ganda yang penting mengenai mencari rezeki secara halal dan
tidak dilarang hukum. Dalam soal makanan dan minuman, yang terlarang adalah
darh, daging binatang yang telah mati sendiri, daging babi, daging binatang
yang ketika disembelih diserukan nama selain Allah, (Q.S 2. 173),
إِنَّمَا
حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنزِيرِ وَمَآأُهِلَّ بِهِ
لِغَيْرِ اللهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَ عَادٍ فَلاَ إِثْمَ عَلَيْهِ
إِنَّ اللهَ غَفُورُُ رَّحِيمٌ
2. Prinsip Kebersihan
Syariat
yang kedua ini tercantum dalam kitab suci Al-Qur’an maupun Sunnah tentang
makanan. Harus baik atau cocok untuk dimakan, tidak kotor ataupun
menjijikkan sehingga merusak selera. Karena itu, tidak semua yang diperkenankan
boleh dimakan dan diminum dalam semua keadaan. Dari semua yang diperbolehkan
makan dan minumlah yang bersih dan bermanfaat.
3. Prinsip Kesederhanaan
Prinsip
ini mengatur prilaku manusia mengenai makanan dan minuman adalah sikap tidak
berlebih-lebihan, yang berarti janganlah makan secara berlebih.
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تُحَرِّمُوا طَيِّبَاتِ مَآأَحَلَّ اللهُ لَكُمْ وَلاَ
تَعْتَدُوا إِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
Artinya : ”Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan
bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas”
Arti
penting ayat ini adalah kenyataan bahwa kurang makan dapat mempengaruhi
pembangunan jiwa dan tubuh, demikian pula bila perut diisi secara
berlebih-lebihan tentu akan ada pengaruhnya pada perut. Praktik memantangkan
jenis makanan tertentu dengan tegas tidak dibolehkan dalam Islam.
4. Prinsip Kemurahan Hati
Dengan
mentaati perintah Islam tidak ada bahaya maupun dosa ketika kita memakan dan
meminum makanan halal yang disediakan Tuhan karena kemurahan hati-Nya. Selama
maksudnya adalah untuk kelangsungan hidup dan kesehatan yang lebih baik dengan
tujuan menunaikan perintah Tuhan dengan keimanan yang kuat dalam tuntutan-Nya,
dan perbuatan adil sesuai dengan itu, yang menjamin persesuaian bagi semua
perintah-Nya.
أُحِلَّ
لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ مَتَاعًا لَّكُمْ وَلِلسَّيَّارَةِ وَحَرَّمَ
عَلَيْكُمْ صَيْدُ الْبَرِّ مَادُمْتُمْ حُرُمًا وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي
إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ
Artinya : Dihalalkan bagimu
binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang
lezat bagimu dan bagi orang-orang dalam perjalanan, dan diharamkan atasmu
(menangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam ihram. Dan bertakwalah
kepada Allah yang kepada-Nya-lah kamu akan dikumpulkan.
5. Prinsip Moralitas.
Bukan
hanya mengenai makanan dan minuman langsung tetapi dengan tujuan terakhirnya,
yakni untuk peningkatan atau kemajuan nilai-nilai moral dan spiritual.
Seseorang muslim diajarkan untuk menyebut nama Allah sebelum makan dan
menyatakan terima kasih kepada-Nya setelah makan. Dengan demikian ia akan
merasakan kehadiran Ilahi pada waktu memenuhi keinginan-keinginan fisiknya. Hal
ini penting artinya karena Islam menghendaki perpaduan nilai-nilai hidup
material dan spiritual yang berbahagia.
يَسْئَلُونَكَ
عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَآإِثْمُُ كَبِيرُُ وَمَنَافِعُ
لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَآ أَكْبَرُ مِن نَّفْعِهِمَا
Artinya : Mereka bertanya
kepadamu (Nabi) tentang khamar dan judi. Katakanlah, ”pada keduanya itu
terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya
lebih besar dari manfaatnya.
C.
Prioritas
Konsumsi
Islam
mengajarkan bahwa manusia selama hidupnya akan mengalami tahapan-tahapan dalam
kehidupan. Secara umum tahapan kehidupan dapat di kelompokkan menjadi dua
tahapan yaitu dunia dan akhirat. Oleh Karena itu Islam mengajarkan kepada
umatnya untuk selalu mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Hal ini berarti
pada saat seseorang melakukan konsumsi harus memiliki dunia dan akhirat. Dengan
demikian maka yang lebih diutamakan adalah konsumsi untuk dunia dan konsumsi
untuk akhirat. Sebagai mahluk pribadi dan social, maka manusia juga memiliki sasaran
konsumsi. Sasaran konsumsi tersebut adalah untuk: Konsumsi untuk diri sendiri
dan keluarga, Konsumsi sebagai tanggung jawab sosial, Tabungan, Investasi.[5]
Konsumsi
berlebih-lebihan, yang merupakan ciri khas masyarakat yang tidak mengenal
Tuhan, dikutuk dalam Islam dan disebut dengan istilah israf (pemborosan) atau
tabzir (menghambur-hamburkan uang/harta tanpa guna).
Menurut
Islam, anugerah-anugerah Allah itu milik semua manusia dan suasana yang
menyebabkan sebagian diantara anugerah-anugerah itu berada di tangan
orang-orang tertentu tidak berarti bahwa mereka dapat memanfaatkan
anugerah-anugerah itu untuk mereka sendiri; sedangkan orang lain tidak memiliki
bagiannya sehingga banyak diantara anugerah-anugerah yang diberikan Allah
kepada umat manusia itu masih berhak mereka miliki walaupun mereka tidak
memperolehnya. Dalam Al-Qur’an Allah SWT mengutuk dan membatalkan argumen yang
dikemukakan oleh orang kaya yang kikir karena ketidaksediaan mereka memberikan
bagian atau miliknya ini.
Bila
dikatakan kepada mereka, “Belanjakanlah sebagian rizqi Allah yang diberikan-Nya
kepadamu,” orang-orang kafir itu berkata, “Apakah kami harus memberi makan
orang-orang yang jika Allah menghendaki akan diberi-Nya makan? Sebenarnya kamu
benar-benar tersesat.”
Selain
itu, perbuatan untuk memanfaatkan atau mengkonsumsi barang-barang yang baik itu
sendiri dianggap sebagai kebaikan dalam Islam, karena kenikmatan yang dicipta
Allah untuk manusia adalah ketaatan kepada-Nya Yang berfirman kepada nenek
moyang manusia, yaitu Adam dan Hawa, sebagaimana tercantum dalam Al-Qur’an: ”
…dan makanlah barang-barang yang penuh nikmat di dalamnya (surga) sesuai dengan
kehendakmu …,” dan yang menyuruh semua umat manusia: “Wahai umat manusia,
makanlah apa yang ada di bumi, dengan cara yang sah dan baik.” Karena itu,
orang Mu’min berusaha mencari kenikmatan dengan mentaati perintah-perintah-Nya
dan memuaskan dirinya sendiri dengan barang-barang dan anugerah-anugerah yang
dicipta (Allah) untuk umat manusia. Konsumsi dan pemuasan (kebutuhan) tidak dikutuk
dalam Islam selama keduanya tidak melibatkan hal-hal yang tidak baik atau
merusak. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an: “Katakanlah, siapakah yang
melarang (anugerah-anugerah Allah) yang indah, yang Dia cipta untuk
hamba-hamba-Nya dan barang-barang yang bersih dan suci (yang Dia sediakan?)”.
Konsumsi
berlebih-lebihan, yang merupakan ciri khas masyarakat yang tidak mengenal
Tuhan, dikutuk dalam Islam dan disebut dengan istilah isrâf (pemborosan) atau
tabzîr (menghambur-hamburkan harta tanpa guna). Tabzir berarti
mempergunakan harta dengan cara yang salah, yakni, untuk menuju tujuan-tujuan
yang terlarang seperti penyuapan, hal-hal yang melanggar hukum atau dengan cara
yang tanpa aturan. Setiap kategori ini mencakup beberapa jenis penggunaan harta
yang hampir-hampir sudah menggejala pada masyarakat yang berorientasi konsumer.
Pemborosan berarti penggunaan harta secara berlebih-lebihan untuk hal-hal yang
melanggar hukum dalam hal seperti makanan, pakaian, tempat tinggal atau bahkan
sedekah. Ajaran-ajaran Islam menganjurkan pola konsumsi dan penggunaan harta
secara wajar dan berimbang, yakni pola yang terletak diantara kekikiran dan
pemborosan. Konsumsi di atas dan melampaui tingkat moderat (wajar) dianggap
isrâf dan tidak disenangi Islam.
Salah
satu ciri penting dalam Islam adalah bahwa ia tidak hanya mengubah nilai-nilai
dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat tetapi juga menyajikan kerangka legislatif
yang perlu untuk mendukung dan memperkuat tujuan-tujuan ini dan menghindari
penyalahgunaannya. Ciri khas Islam ini juga memiliki daya aplikatifnya terhadap
kasus orang yang terlibat dalam pemborosan atau tabzîr. Dalam hukum (Fiqh)
Islam, orang semacam itu seharusnya dikenai pembatasan-pembatasan dan, bila
dianggap perlu, dilepaskan dan dibebaskan dari tugas mengurus harta miliknya
sendiri. Dalam pandangan Syarî’ah dia seharusnya diperlakukan sebagai
orang tidak mampu dan orang lain seharusnya ditugaskan untuk mengurus hartanya
selaku wakilnya.
D.
Perilaku
Konsumsi dalam Islam
Sebagai
agama yang syamil, Islam telah memberikan rambu-rambu berupa batasan-batasan
serta arahan-arahan positif dalam berkonsumsi. Setidaknya terdapat dua batasan
dalam hal ini.
- pembatasan dalam hal sifat dan cara. Seorang muslim mesti sensitif terhadap sesuatu yang dilarang oleh Islam. Mengkonsumsi produk-produk yang jelas keharamannya harus dihindari, seperti minum khamr dan makan daging babi. Seorang muslim haruslah senantiasa mengkonsumsi sesuatu yang pasti membawa manfaat dan maslahat, sehingga jauh dari kesia-siaan. Karena kesia-siaan adalah kemubadziran, dan hal itu dilarang dalam islam (QS. 17 : 27)
2. pembatasan dalam hal kuantitas atau
ukuran konsumsi. Islam melarang umatnya berlaku kikir yakni terlalu
menahan-nahan harta yang dikaruniakan Allah SWT kepada mereka. Namun Allah juga
tidak menghendaki umatnya membelanjakan harta mereka secara berlebih-lebihan di
luar kewajaran (QS. 25 : 67, 5 : 87). Dalam mengkonsumsi, Islam sangat
menekankan kewajaran dari segi jumlah, yakni sesuai dengan kebutuhan. Dalam
bahasa yang indah Al-Quran mengungkapkan “dan janganlah kamu jadikan
tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya…”(QS.
17 : 29).
Adapun arahan Islam dalam berkonsumsi
paling tidak ada tiga hal:
1.
jangan
boros. Seorang muslim dituntut untuk selektif dalam membelanjakan hartanya.
Tidak semua hal yang dianggap butuh saat ini harus segera dibeli. Karena sifat
dari kebutuhan sesungguhnya dinamis, ia dipengaruhi oleh situasi dan kondisi.
Seorang pemasar sangat pandai mengeksploitasi rasa butuh seseorang, sehingga
suatu barang yang sebenarnya secara riil tidak dibutuhkan tiba-tiba menjadi
barang yang seolah sangat dibutuhkan. Contoh sederhana air mineral. Dahulu
orang tidak terlalu membutuhkannya. Namun karena perusahaan rajin
“memprovokasi” pasar, kini hampir di setiap rumah kita ada air mineral.
2.
seimbangkan
pengeluaran dan pemasukan. Seorang muslim hendaknya mampu menyeimbangkan antara
pemasukan dan pengeluarannya, sehingga sedapat mungkin tidak berutang. Karena
utang, menurut Rasulullah SAW akan melahirkan keresahan di malam hari dan
mendatangkan kehinaan di siang hari. Ketika kita tidak memiliki daya beli, kita
dituntut untuk lebih selektif lagi dalam memilih, tidak malah memaksakan diri
sehingga terpaksa harus berutang. Hal ini tentu bertentangan dengan perilaku
produktif. Kita telah merasakan: keresahan, kehinaan, serta kehilangan
kemerdekaan sebagai satu bangsa akibat jerat utang.
3.
tidak
bermewah-mewah. Islam juga melarang umatnya hidup dalam kemewahan (QS. 56 :
41-46) Kemewahan yang dimaksud menurut Yusuf Al Qardhawi adalah tenggelam dalam
kenikmatan hidup berlebih-lebihan dengan berbagai sarana yang serba
menyenangkan.
Perilaku
konsumsi, sesuai dengan arahan Islam di atas menjadi lebih terasa urgensinya
pada kehidupan kita saat ini. Krisis ekonomi yang belum juga reda bertemu
dengan harga-harga yang melambung tinggi selama bulan puasa, menuntut kita
untuk selektif dalam berbelanja. Islam tidak melegitimasi momen apapun yang
boleh digunakan untuk mengkonsumsi secara berlebihan apalagi di luar batas
kemampuan, termasuk Ramadhan dan Idul Fitri. Bahkan Rasulullah merayakan idul
fitri dengan penuh kesederhanaan.
Bagi
mereka yang memiliki uang berlebih mungkin berfikir, mengapa Islam harus
membatasi hak orang? Pada prinsipnya Islam sangat menghargai hak individu dalam
mengkonsumsi rezeki yang diberikan oleh Allah SWT sepanjang pelaksanaannya
tidak mengganggu kepentingan umum. Dalam riwayat, Khalifah Umar bin Khattab
pernah melarang konsumsi daging dua hari berturut-turut dalam sepekan, karena
persediaan daging tidak mencukupi semua orang di Madinah. Demikian pula terjadi
pada zaman Nabi Yusuf, ketika terjadi swasembada selama tujuh tahun, masyarakat
tidak diperkenankan mengkonsumsi secara berlebihan (QS. 12:47-48). Pembatasan
di masa krisis sesungguhnya dapat menjaga stabilitas sosial serta menjamin
terpenuhinya rasa keadilan, karena mereka yang punya kuasa atas harta tidak
bisa secara sewenang-wenang menimbun bahan pangan di rumahnya.
Comments
Post a Comment